Dua tahun lalu, Maksimus Lani mampir ke sebuah kedai kopi
modern di Jakarta. Ia memesan secangkir kopi arabika wamena. Ia kaget bukan kepalang
begitu tahu harga secangkir kopi wamena mencapai Rp 100.000.
Dari pengalaman di Jakarta, Maksimus sadar bahwa kopi yang
ditanarn di Lembah Baliem, Pegunungan Tengah Papua, itu punya nilai ekonomi
tinggi. Ia senang mengetahui hal itu, tapi pada saat bersamaan ia merasa miris.
Pasalnya, ia tahu perkebunan kopi arabika di Pegunungan Tengah belum
dimanfaatkan secara maksimal.
Ketika berkunjung ke sejumlah daerah perkebunan kopi di
Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo beberapa tahun lalu, ia melihat banyak petani
membiarkan biji-bii kopi yang ranum perlahan membusuk di pohon. Itu terjadi
karena harga kopi di tingkat petani sangat rendah.
Tengkulak hanya mau membayar Rp 5.000-Rp 10.000 per
kilogram. Akibatnya, petani tidak bergairah membudidayakan kopi secara serius.
Mereka pasrah pada alam yang berbaik hati memberikan kopi serta tengkulak yang
mematok harga rendah.
Maksimus merasa bisa mengubah keadaan itu. Ia memiliki
pengalaman menjadi petani kopi di Walesi, Kabupaten Jayawijaya, sejak 1997. Ia
juga pernah mengikut program magang mengelola kopi di Jember, Jawa Timur pada
September 2010 yang digelar oleh Dinas Pertanian Kabupaten Jayawijaya. Saat
itu, ia beiajar mulai dari cara menanam, mengolah biji kopi pasca panen, hingga
mengemas biji kopi yang akan dijual.
Laki-laki yang semula bertani sayur, ubi, dan beternak babi
itu akhirnya mengambil inisiatif untuk menularkan pengetahuannya kepada petani
kopi di Pegunungan Tengah Papua sejak Januari 2014. Melalui para tetua adat, ia
temui para petani di sentra-sentra perkebunan kopi.
Pertama-tama, ia menyadarkan petani bahwa kopi arabika dari
Pegunungan Tengah Papua punya niiai ekonomi tinggi sehingga mesti dikembangkan
untuk kesejahteraan petani. Berikutya, ia mengajarkan dasar-dasar pengolahan
biji kopi arabika mulai dari pengupasan kulit, penjemuran, hingga proses
fermentasi biji kopi dan pengemasan.
”Biasanya proses penjemuran biji kopi memakan waktu hingga
sepekan karena cuaca di wilayah ini sejuk. Tetapi, proses fermentasi biji kopi
hanya memakan waktu sehari,” papar Maksimus yang ditemui di Okesa, sekitar 20
kilometer dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, pertengahan Agustus lalu.
Nekat
Perlahan tapi pasti, kegairahan petani untuk memproduksi
kopi muncul Sejak pertengahan 2014, mereka giat merawat perkebunan kopi yang
ada di Lembah Baliem pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut di
tengah udara yang sejuk. Lingkungan seperti ini menghasilkan kopi beraroma kuat
dan harum. Persoalan berikutnya adalah siapa yang mau membeli kopi petani
dengan harga lebih tinggi daripada yang ditawarkan tengkulak? Maksimus dengan
setengah nekat bersedia membeli kopi petani Ia menawarkan harga Ep 30.000-Rp
40.000 per kilogram biji kopi, bergantung pada kadar airnya. Harga itu 3-5 kali
lipat harga yang dipatok tengkulak Pembelian dilakukan melalui Koperasi Okesa
yang didirikan Maksimus dengan bantuan modal dari Pemerintah Kabupaten
Jayawijaya. Saat ini, jumlah anggotanya sekitar 500 petani.
Mendapatkan harga yang tlnggi, petani semakin giat
mengembangkan kopi. Dari anggota Koperasi Okesa, Maksimus bisa mendapatkam 20
ton, biji kopi kering per tahun dari perkebunan kopi seluas 272 hektar.
Perkebunan itu terdin dari 152 hektar di Jayawijaya serta 120 hektar di Tangma
dan Kurima yang masuk wilayah Kabupaten Yahukimo.
Dengan setoran kopi sebanyak itu, Maksimus mesti bekerja
keras memasarkan lagi kopi yang dibeli dari petani ke distributor dan pabrik
pengolahan kopi. Ia terbang ke Jayapura, ibu kota Papua, membawa sampel kopi
untuk ditawarkan kepada PT Garuda Mas. Ia juga menemui pengurus Koperasi Kopi
Amungme bernama Arnold di Kabupaten Mimika.
”Saya hanya modal nekat memasarkan biji kopi milik petani dl
Jayapura dan Timika (ibu kota Kabupaten Mimika). Puji Tuhan, usaha saya
berhasil," ujar Maksimus.
Ia menjual biji kopi kepada pembeli di Jayapura seharga Rp
70.000 per kilogram dan di Timika seharga Rp 80.000 per kilogram. Harga
penjualan masih tinggi karena biaya angkut kopi dengan pesawat dari Wamena
cukup mahal.
Meski begitu, permintaan kopi dari Pegunungan Tengah, yang
di pasar sering disebut kopi wamena, terus mengalir. Dalam satu pengiriman,
Maksimus bisa mamasok 1 ton-2 ton kopi ke Jayapura dan Timika.
Di Jayapura, satu kemasan biji kopi arabika seberat 250 gram
dijual pedagang Rp 70.000. Setelah masuk ke kota-kota besar lain. seperti
Jakarta, harganya lebih tinggi lagi.
Buah keria keras
Kini petani kopi di Pegunungan Tengah Papua bisa tersenyum.
Pada mesa panen raya kopi yang berlangsung Juni-Agustus dan November-Desember,
petani semakin rajin mendatangi Koperasi Okesa untuk menyetor biji kopi. Mereka
berasal dari tujuh sentra perkebunan kopi di Jayawijaya, yakni Jagara, Piramid,
Hubi Kosi, Muliama, Kurulu, Jalengga, dan Pugima, serta dua distrik di
Kabupaten Yahukimo, yakni Tangma dan Kurima.
Kamis pagi, pertengahan Agustus lalu, terlihat 20 petani
daerah Tangma dan Kurima datang ke kantor Koperasi Okesa yang terletak di
Kampung Jagara. Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya. Petani masing-masing
membawa dua karung biji kopi kering. Mereka disambut oleh dua pegawai koperasi
yang segera menimbang biji kopi kering yang mereka bawa.
Saat itu juga, Maksimus membayar biji kopi yang dijual
anggota koperasi. Hari itu, para petani bisa membawa pulang uang Rp 800.000. Dengan wajah gembira,
mereka meninggalkan kantor Koperasi Okesa menuju Wamena untuk membeli berbagai
kebutuhan pokok.
Ketika mereka sibuk berbelanja, Maksimus dan pegawai
koperasi sibuk mengolah biji kopi yang baru tiba. Mereka mengupas kulit tanduk
kopi dengan menggunakan alat khusus yang biasa disebut huller. Setelah itu,
mereka memilah biji kopi berkualitas baik.
Begitulah rutinitas Maksimus beberapa tahun terakhir. Berkat
kengototannya mengembangkan kopi Pegunungan Tengah, banyak petani yang mulai
meningkat taraf hidupnya. Mereka tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok,
tetapi juga membiayai anak-anaknya sekolah.
Namun, Maksimus masih belum puas. "Saya ingin petani
tak hanya memasok bahan baku. Suatu hari, kami mesti memiliki industri
pengolahan kopi sendiri sehingga bisa mendapat keuntungan yang layak,"
tutur ayah tujuh anak ini.
No comments:
Post a Comment