Warga Desa Tlahab, Temanggung, Jawa Tengah, memanen
berton-ton kopi di tengah hamparan tanaman tembakau. lnilah contoh proyek
tumpang sari dan konservasi lahan yang berhasil. Di belakang kesuksesan itu,
ada seseorang bernama Tuhar.
Tuhar (49) adalah Ketua Kelompok Tani Daya Sindoro di Desa
Tlahab. Saat ditemui di rumahnya di desa itu, awal Oktober lalu, ia sibuk
menemani warga yang menyangrai biji kopi dengan mesin milik kelompok tani yang
ditempatkan di rumahnya. Berkarung-karung kopi memenuhi teras rumah.
”Buat saya, menanam kopi itu ba- gian dari ibadah,” kata
Tuhar. ”Iba- dah” yang dimaksud itu adalah amal kebaikan yang dia kerjakan
untuk sesama dan lingkungan sekitar.
Kopi yang diolah itu merupakan produksi warga Desa Tlahab
yang dikembangkan dengan pola tanam tumpang sari. Tuhar bersama para penyuluh
dinas pertanian Kabupaten Temanggung merintis penanaman kopi dan tembakau di
satu lahan. Cara ini kemudian dikenal dengan pola Tlahab.
Pemandangan desa ini segar oleh pola tanam itu. Pohon kopi
tumbuh subur dengan daun berwarna hijau tua. Tanaman setinggi 1-2 meter itu
berderet berpola, selajur, berselang-seling dengan tembakau berdaun hijau muda.
Pola tumpang sari diterapkan dengan penanaman terencana.
Caranya, tembakau ditanam dengan jarak 4-6 meter. Di antara jarak itu kemudian
ditanami kopi dan beragam jenis sayuran. Agar semua tanaman dapat tumbuh
leluasa, di antara deretan tanaman itu diberi jarak lagi sepanjang 1-2 meter.
Dengan menerapkan pola ini, tidak ada jeda panen atau
paceklik. Setiap bulan, selalu saja ada tanaman yang memberikan hasil dan
pendapatan bagi petani.
”Petani tidak lagi menggantungkan nasib pada hasil panen
tembakau yang belum tentu bagus dan harganya belum tentu tinggi,” ujarnya.
Saat bersamaan, pohon kopi sebagai tegakan juga bisa
membantu menahan erosi yang menggerus lahan pertanian. Pola Tlahab kini
populer. Banyak petani dari sejumlah daerah berkunjung, melihat, dan
mempelajari teknik itu.
Berawal dari iseng
Tuhar mulai bertani kopi sejak tahun 2000. Saat itu, Desa
Tlahab mendapatkan 50.000 bibit kopi gratis dari Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah. Program Pemberdayaan Masyarakat Usaha Tani Partisipatif itu sekaligus
sebagai bagian dari usaha konservasi dan pencegahan erosi di areal lahan tembakau.
Pada mulanya, banyak petani yang enggan mengikuti program
itu, bahkan membuang bantuan bibit kopi. Namun, iseng-iseng, Tuhar mencoba
menanam 500 bibit. ”Waktu itu, saya bahkan tidak yakin, apakah tanaman kopi
bisa tumbuh atau tidak.”
Bibit kopi ia tanam di antara tembakau. Jarak itu
bervariasi, sesuai dengan luasan lahan. Selain Tuhar, ternyata ada juga
sejumlah petani lain yang juga mencoba menanam kopi.
Tak berselang lama, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah datang
lagi membagikan 150.000 bibit kopi gratis di desa itu. Pada tahap kedua ini,
Tuhar memperoleh 1.000 bibit kopi.
Pada 2004 sampai 2005, tanaman kopi warga, termasuk Tuhar,
mulai dipanen. Banyak warga terkejut, tetapi juga senang. Ternyata, kopi mereka
bisa tumbuh baik di tengah kebun tembakau, bahkan bisa berbuah dan dipanen.
Hasil panen kopi awal itu dijual dengan sistem tebasan,
yakui diborong saat kopi masih berwarna hijau. Tidak heran, nilai jualnya
rendah, hanya Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Satu pohon kopi menghasilkan
sekitar 1 kilogram biji kopi.
Menjual kopi
Tahun 2008, Tuhar membentuk Kelompok Tani Daya Sindoro
dengan 45 anggota petani. Tujuan awalnya, bagaimana cara menjual kopi dengan
harga yang baik. Tahun 2010, jalan mulai terbuka. Ketika itu, ada Sekolah
Lapangan Pengendalian Hama Terpadu di Desa Tlahab yang mengajari petani tata
cara budidaya kopi secara benar. Tuhar lantas menyemangati petani, terutama
anggota Daya Sindoro, untuk membibitkan kopi secara mandiri.
Mereka menghasilkan sekitar 200.000 bibit kopi. Sebanyak 30.000
bibit di antaranya diberikan gratis kepada Lembaga Masyarakat Desa dan Hutan.
Bibit itu lantas ditanam di kawasan hutan seluas 25 hektar milik Perhutani.
Dari 170.000 bibit sisanya, 100.000 bibit diberikan kepada
petani yang berminat menanam kopi. Sebanyak 70.000 bibit lagi dijual. Hasil
pen- jualan itu disimpan sebagai dana kas kelompok.
Produksi kopi Desa Tlahab berangsur dikenal. Tahun 2010,
sejumlah pedagang dan eksportir mulai datang membeli kopi dari desa ini.
Melalui perantaraan sejumlah eksportir, Kelompok Tani Daya Sindoro mengekspor
kopi ke Jerrnan dan Korea Selatan. Ekspor biji kopi mentah ke Korea Selatan
bahkan berlangsung hingga tiga kali berturut-turut, dari tahun 2012 hingga
2014. Total, ada 14 ton biji kopi yang telah diekspor ke ”Negeri Ginseng” itu.
Kontes kopi
Kiprah Kelompok Tani Daya Sindoro di Desa Tlahab menarik
perhatian pemerintah pusat. Kementerian Pertanian memberikan delapan unit
mesin. Ada juga bantuan mesin roasting (panggang) rancangan Institut Pertanian
Bogor.
Namun, mesin itu belum disertai standar operasional. Tuhar
mengetahui teknik operasional mesin tersebut setelah mencoba-coba selama dua
hari dua malam dengan menghabiskan 70 kilogram biji kopi hasil panennya.
Lebih lanjut, Tuhar mendalami cara membuat kopi bubuk. Semua
itu dilakukan secara otodidak Serta banyak bertanya dan berkunjung ke sejumlah
kafe di Semarang dan Yogyakarta. Setelah uji coba dan belajar dari sana-sini,
dia pun menguasai teknik menyangrai dan membuat bubuk kopi secara benar.
Tuhar lantas merintis usaha pembuatan kopi bubuk. Ia
keluarkan tiga merek kopi dengan cita rasa berbeda. Lebih dari itu, ia
memberanikan diri mengikuti lomba. Tahun 2014, kopi arabika milik petani ini
menyabet gelar juara III dalam Kontes Kopi Specialti Indonesia tingkat nasional
untuk kategori kopi arabika.
Prestasi itu menyentak banyak orang yang selama ini tidak
mengetahui bahwa Kabupaten Temanggung juga memproduksi kopi. ”Seusai kontes,
sejumlah petani dari kelompok tani asal Bondowoso datang ke Desa Tlahab. Mereka
ingin membuktikan, apakah kopi benar-benar ditanam di Temangung atau tidak,”
ujarnya sembari terbahak.
Pada Februari 2016, kopi produksi Tuhar dipamerkan dalam
pameran Speciality Coffee Association of America di Atlanta, Amerika Serikat.
Ajang ini kian memopulerkan Desa Tlahab sebagai penghasil kopi.
Semangat Tuhar ”menular" kepada banyak warga. Dari
sekitar 200 hektar lahan pertanian di Desa Tlahab, sekitar 70 persen kini
ditanami kopi. Semuanya menggunakan pola tumpang sari dengan rata-rata 1.000
tanaman kopi per 1 hektar. Sekarang, total tanaman kopi di desa ini men- capai
150.000 pohon. Produktivitasnya mencapai 5 kilogram green bean per pohon.
Gerakan menanam kopi juga terbukti membantu konservasi lahan
pertanian. Saat bersamaan, muncul alternatif komoditas andalan selain tembakau.
Kini, petani Desa Tlahab tidak lagi terlalu bergantung pada hasil panen
tembakau yang selama ini tidak menentu. Maklum, kualitas dan harga tembakau
turun-naik, bergantung pada cuaca serta pasar.
”Kami berharap petani dapat bebas paceklik sepanjang tahun,”
ujar Tuhar.
JOIN NOW!!!
(Sumber: Kompas 9 Nov 2016)
No comments:
Post a Comment