Monday, November 28, 2016

Kopi Hentikan Perambahan Hutan

Di lembah Pegunungan Bukit Barisan Sumatera, cerita kopi arabika tak hanya soal cita rasa dan aroma dalam segelas minuman. Kopi sukses mengubah petani yang semula dicap "perambah" keluar meninggalkan kawasan hutan. Mereka menjadi pejuang pemulih alam. 

Butiran buah kopi berjuntaian memenuhi dahan-dahan tanaman di atas lahan yang semula dianggap tak subur. Lahan warisan itu telah lama ditinggalkan. Petani setempat lebih gemar membuka hutan-hutan perawan yang masih kaya hara.
Saat diajak Nasrul (65) untuk menggarap lahan warisan itu kembali, Paidirman (40) sangsi. Apalagi, Ketua Pengelola Hutan Adat Kemantan, Kabupaten Kerinci, Jambi, itu menawarinya bertanam kopi arabika, komoditas yang belum pernah ditanam. "Memang kabarnya arabika bisa tumbuh di sini. Namun, saya belum yakin hasilnya akan baik karena tanah di sini tidak sesubur di hutan sana," ujarnya  sembari menunjuk gugusan Bukit Barisan nan permai. Perbukitan itu bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Paidirman akhirnya bersedia kembali ke lahannya dan menanami kopi setelah mendapatkan bantuan bibit secara cuma-cuma. Jauhari, konsultan budidaya kopi dari Jember, Jawa Timur, mendampingi petani merawat tanaman yang menghampar di lembah Renah Pemetik, Kecamatan Air Hangat Timur, Kerinci. Jaraknya hanya 2 kilometer dari TNKS.
Setiap hari mereka sibuk memangkas daun, memperbanyak dahan, mengasup pupuk kandang, dan memeriksa apabila ada hama. Hanya selang 2 tahun, bulir buah kopi bermunculan. Buahnya memadati dahan-dahan baru yang tumbuh dari hasil pemangkasan.
Kini, setelah tanaman berusia 4 tahun, Paidirman memetik hasil hampir 15 kilogram buah kopi (ceri) per pohon per tahun. Dengan 400 pohon yang dimilikinya, serta harga ceri Rp 7.500 per kilogram, dia mengenyam hasil panen sekitar Rp 45 juta per tahun. Namun, ia masih mengolahnya, tak sekedar menjual buah kopi yang baru dipetik, sehingga harganya naik menjadi Rp 21.000 per kilogram.
Petani juga diinggatkan agar rutin merawat tanaman karena setelah usia di atas 5 tahun, produktivitas pohon melonjak. Satu batang bisa menghasilkan 20 kilogram per tahun. Dengan asumsi petani menanam rata-rata 1.600 batang per hektar, produktivitasnya mencapai 32 ton per hektar per tahun atau 4,1 ton biji kopi (green bean) yang harganya Rp 85.000 per kilogram.
Tidak hanya kopi, pada hamparan itu ditanami pula pohon avokad, jeruk, kayu manis, dan medang putih. Tanaman-tanaman keras diperlukan menaungi kopi, serta menjaga lahan agar terhindar dari erosi, dan bernilai ekonomis bagi petani. 
Masuk kawasan
Paidirman teringat 10 tahun lalu dirinya nekat membuka lahan, yang ternyata masuk TNKS. Aparat kerap mengejar petani, termasuk dirinya, sebab ladang mereka melewati patok penanda batas taman nasional. "Hanya 1 hektar yang saya buka, tetapi rasanya tidak tenang. Kami seperti main kucing-kucingan dengan petugas (patroli hutan),” katanya.
Penetapan status taman nasional tahun 1999 seluas 1,3 juta hektar yang mencakup Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan berimbas pada terbatasnya ruang kelola masyarakat. Petani yang semula bebas berladang tidak lagi mempertahankan tradisi memperluas ruang kelola adat atau disebut ajun arah. Yang nekat menggarap lahan baru di kawasan taman nasional menanggung risiko tersangkut hukum.
Selain Paidirman, Ermiadi (53), mantan Kepala Desa Kemantan tahun 1980-an, melakukan hal serupa.
Baru 3 tahun terakhir, Ermiadi meninggalkan hutan itu secara sukarela dan menanami lahan warisannya dengan kopi arabika. Hasil panen yang memuaskan meyakinkan dirinya agar tidak perlu lagi merambah hutan.
Penanaman kopi arabika sebelumnya telah dilakukan di kaki Gunung Kerinci, Kecamatan Kayu Aro, 2009. Budidaya arabika secara agroforest (tanaman campuran) berhasil memulihkan lahan-lahan bekas pertanian kentang dan wortel yang rusak akibat terlalu banyak asupan pupuk kimia dan pembasmi hama. Sistem agroforest juga efektif menjaga lereng-lereng bukit itu aman dari longsor.
Penanaman kopi arabika di Kayu Aro, yang dikembangkan organisasi lingkungan Lembaga Tumbuh Alami (LTA) itu akhirnya meluas hampir 1.000 hektar. Petani tambah antusias setelah industri hilir kopi hadir. Hasil panen selalu terserap dengan harga kompetitif seiring penerapan budidaya kopi organik yang mendapat apresiasi pasar internasional. “Pembeli di Eropa bersedia membayar bonus 0,5 poundsterling (Rp 8000) per kilogram untuk kopi organik,” kata Emma Fatma, Direktur LTA.
Keberadaan industri hilir PT Agro Tropik Nusantara yang menyerap 1.000 ton buah kopi petani per tahun, atau hampir 150 ton biji arabika untuk ekspor ke Amerika Serikat, Swiss, Jerman, Tiongkok, dan Korea Selatan, sangat membantu petani.
Sukses di Kayu Aro menarik Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA) Sumatera, yang merupakan bagian dari program Yayasan Kehati, untuk mengembangkan program serupa di Renah Pemetik. Tak perlu mengusir petani dari dalam kawasan dengan aparat bersenjata, dilandasi pemberdayaan untuk kesejahteraan, petani akan mengelola lahan yang ada dan tak perlu lagi merambah hutan taman nasional.
Manajer Komunikasi TFCA Sumatera Ali Sofiawan mengatakan, pada 2013 sudah 60.000 bibit diberikan kepada petani. Program terus berlanjut hingga sekarang melalui pengadaan 50.000 bibit baru beserta pendampingan.
”Sudah 77 keluarga di Renah Pemetik yang beralih membudidayakan kopi,” ujarnya.

JOIN NOW!!!

(Sumber: Kompas 28 Nov 2016)

No comments:

Post a Comment