Di lembah Pegunungan Bukit Barisan
Sumatera, cerita kopi arabika tak hanya soal cita rasa dan aroma dalam segelas
minuman. Kopi sukses mengubah petani yang semula dicap "perambah"
keluar meninggalkan kawasan hutan. Mereka menjadi pejuang pemulih alam.
Butiran buah kopi berjuntaian memenuhi
dahan-dahan tanaman di atas lahan yang semula dianggap tak subur. Lahan warisan
itu telah lama ditinggalkan. Petani setempat lebih gemar membuka hutan-hutan perawan
yang masih kaya hara.
Saat diajak Nasrul (65) untuk
menggarap lahan warisan itu kembali, Paidirman (40) sangsi. Apalagi, Ketua
Pengelola Hutan Adat Kemantan, Kabupaten Kerinci, Jambi, itu menawarinya
bertanam kopi arabika, komoditas yang belum pernah ditanam. "Memang kabarnya
arabika bisa tumbuh di sini. Namun, saya belum yakin hasilnya akan baik karena
tanah di sini tidak sesubur di hutan sana," ujarnya sembari menunjuk gugusan Bukit Barisan nan
permai. Perbukitan itu bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Paidirman akhirnya bersedia kembali
ke lahannya dan menanami kopi setelah mendapatkan bantuan bibit secara
cuma-cuma. Jauhari, konsultan budidaya kopi dari Jember, Jawa Timur,
mendampingi petani merawat tanaman yang menghampar di lembah Renah Pemetik, Kecamatan
Air Hangat Timur, Kerinci. Jaraknya hanya 2 kilometer dari TNKS.
Setiap hari mereka sibuk memangkas
daun, memperbanyak dahan, mengasup pupuk kandang, dan memeriksa apabila ada
hama. Hanya selang 2 tahun, bulir buah kopi bermunculan. Buahnya memadati
dahan-dahan baru yang tumbuh dari hasil pemangkasan.
Kini, setelah tanaman berusia 4
tahun, Paidirman memetik hasil hampir 15 kilogram buah kopi (ceri) per pohon
per tahun. Dengan 400 pohon yang dimilikinya, serta harga ceri Rp 7.500 per
kilogram, dia mengenyam hasil panen sekitar Rp 45 juta per tahun. Namun, ia
masih mengolahnya, tak sekedar menjual buah kopi yang baru dipetik, sehingga
harganya naik menjadi Rp 21.000 per kilogram.
Petani juga diinggatkan agar rutin
merawat tanaman karena setelah usia di atas 5 tahun, produktivitas pohon
melonjak. Satu batang bisa menghasilkan 20 kilogram per tahun. Dengan asumsi
petani menanam rata-rata 1.600 batang per hektar, produktivitasnya mencapai 32 ton
per hektar per tahun atau 4,1 ton biji kopi (green bean) yang harganya Rp 85.000
per kilogram.
Tidak hanya kopi, pada hamparan
itu ditanami pula pohon avokad, jeruk, kayu manis, dan medang putih.
Tanaman-tanaman keras diperlukan menaungi kopi, serta menjaga lahan agar
terhindar dari erosi, dan bernilai ekonomis bagi petani.
Masuk kawasan
Paidirman teringat 10 tahun lalu
dirinya nekat membuka lahan, yang ternyata masuk TNKS. Aparat kerap mengejar petani,
termasuk dirinya, sebab ladang mereka melewati patok penanda batas taman
nasional. "Hanya 1 hektar yang saya buka, tetapi rasanya tidak tenang.
Kami seperti main kucing-kucingan dengan petugas (patroli hutan),” katanya.
Penetapan status taman nasional
tahun 1999 seluas 1,3 juta hektar yang mencakup Provinsi Jambi, Sumatera Barat,
Bengkulu, dan Sumatera Selatan berimbas pada terbatasnya ruang kelola
masyarakat. Petani yang semula bebas berladang tidak lagi mempertahankan
tradisi memperluas ruang kelola adat atau disebut ajun arah. Yang nekat menggarap
lahan baru di kawasan taman nasional menanggung risiko tersangkut hukum.
Selain Paidirman, Ermiadi (53),
mantan Kepala Desa Kemantan tahun 1980-an, melakukan hal serupa.
Baru 3 tahun terakhir, Ermiadi meninggalkan
hutan itu secara sukarela dan menanami lahan warisannya dengan kopi arabika.
Hasil panen yang memuaskan meyakinkan dirinya agar tidak perlu lagi merambah hutan.
Penanaman kopi arabika sebelumnya telah
dilakukan di kaki Gunung Kerinci, Kecamatan Kayu Aro, 2009. Budidaya arabika secara
agroforest (tanaman campuran) berhasil memulihkan lahan-lahan bekas pertanian kentang
dan wortel yang rusak akibat terlalu banyak asupan pupuk kimia dan pembasmi
hama. Sistem agroforest juga efektif menjaga lereng-lereng bukit itu aman dari
longsor.
Penanaman kopi arabika di Kayu
Aro, yang dikembangkan organisasi lingkungan Lembaga Tumbuh Alami (LTA) itu
akhirnya meluas hampir 1.000 hektar. Petani tambah antusias setelah industri
hilir kopi hadir. Hasil panen selalu terserap dengan harga kompetitif seiring
penerapan budidaya kopi organik yang mendapat apresiasi pasar internasional.
“Pembeli di Eropa bersedia membayar bonus 0,5 poundsterling (Rp 8000) per
kilogram untuk kopi organik,” kata Emma Fatma, Direktur LTA.
Keberadaan industri hilir PT Agro
Tropik Nusantara yang menyerap 1.000 ton buah kopi petani per tahun, atau
hampir 150 ton biji arabika untuk ekspor ke Amerika Serikat, Swiss, Jerman,
Tiongkok, dan Korea Selatan, sangat membantu petani.
Sukses di Kayu Aro menarik Tropical
Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA) Sumatera, yang merupakan bagian
dari program Yayasan Kehati, untuk mengembangkan program serupa di Renah
Pemetik. Tak perlu mengusir petani dari dalam kawasan dengan aparat bersenjata,
dilandasi pemberdayaan untuk kesejahteraan, petani akan mengelola lahan yang
ada dan tak perlu lagi merambah hutan taman nasional.
Manajer Komunikasi TFCA Sumatera Ali
Sofiawan mengatakan, pada 2013 sudah 60.000 bibit diberikan kepada petani. Program
terus berlanjut hingga sekarang melalui pengadaan 50.000 bibit baru beserta
pendampingan.
”Sudah 77 keluarga di Renah Pemetik
yang beralih membudidayakan kopi,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment